“apa yang kau lakukan di tempat dudukku ?”
Seorang anak perempuan menatap heran pada teman laki-lakinya, namun yang ditanya hanya membalas pertanyaannya dengan tatapan datar.
Anak perempuan yang diketahui bernama Jingga itu masih menatap sebal ke arah teman sebangku barunya itu. Anggi nama anak laki-laki itu, tiba-tiba hari ini dia dengan sesuka hatinya mengusir teman sebangku Jingga yang lama tentu saja itu membuat Jingga marah. Apalagi sebelum menginjak di kelas 3 smp mereka tak pernah berbicara.
“Baik lah hanya hari ini saja, besok kembalilah ke alammu”
Anggi menoleh dengan tatapan bingung, namun tiba-tiba dia tersenyum.
“Tidak, aku sudah memutuskan untuk tetap duduk di sini” dipamerkannya seyum yang seolah-olah ingin meremehkan Jingga.
Melihat seyum Anggi yang cukup mengerikan membuat nyali Jingga ciut, digigitnya bibir tipisnya berusaha ntuk melepas kegugupannya.
“Aku akan melapor ke ibu guru nanti” jawab Jingga ragu.
Anggi kembali terseyum dan itu berhasil membuat harumi bertambah takut, ditariknya buku tulis yang berada di hadapan Jingga. Tangannya mulai menggores-gores buku tulis tersebut ‘COBA SAJA :P’.
….
Pernah kau menghitung berapa banyak waktu yang kita lewati bersama ?
Pernahkah ?
Jika ya, beri tahu aku berapa lama itu ?
….
“Berhentilah menatapku seperti itu, mengerikan kau tau ”
Jingga mengalihkan pandangannya dari papan tulis menuju teman sebangkunya yang menurutnya menyebalkan. Diliriknya buku tulis anggi yang masih bersih. Anggi yang merasa Jingga memandangi buku tulisnyapun merasa kesal karna dia tahu apa yang dipikirkan Jingga.
“Nanti akan kutulis, aku bukannya pemalas” jawab Anggi dengan ketus, namun itu terdengar sangat lucu ditelinga Jingga.
Dan sekarang keadaan berbanding terbalik, Jingga enggan melepaskan pandangan kepada Anggi yang sedang asyik menulis yang menurut Jingga itu seperti mencoret-coter bukunya dengan tulisannya yang ‘unik’. Kelas yang tadinya tenang tiba-tiba terganggu oleh tawa Jingga. Dan semua perhatianpun Ia dapatkan.
“Apa yang kau pikirkan tadi ?”
Tanya Anggi pada Jingga sambil menyodorkan air minum.
“Tidak”
Anggi hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Jingga hari ini, walaupun sebelumnya mereka tidak dekat, namun Anggi tau seperti apa Jingga selama di kelas mengingat mereka sudah satu kelas selama 3 tahun berturut-turut.
…..
Kau yang selalu memperhatikanku
Mempertanyakanku
Namun aku tak pernah mengubrismu
Salahmu, kenapa kau mau membuang-mebuang waktumu
….
Anggi memandang kursi kosong disebelahnya dengan malas. Sudah 3 hari ini dia duduk sendiri dikarenakan Jingga mendapatkan undangan di salah satu sekolah terkenal di kota tersebut. Diambilnya penanya, tak tahu apa yang merasukinya tanganya mulai bergerak menulis nama Jingga di mejanya.
“Aku tahu ini, tapi aku ragu apa kau akan tahu”
Dipandanginya ukiran nama harumi yang dibuatnya di atas mejanya dengan nanar. Dielusnya ukiran itu, berharap rasa rindunya akan sedikit terobati tapi sayang semua itu tak berpengaruh sedikitpun.
“Apa yang kau lakukan”
Aktivitas Anggi terhenti ketika suara seseorang yang dikenalnya terdengar.
“Tidak ada” jawab Anggi dengan malas dan tatapan yang tetap tertuju pada ukirannya.
Lawan bicaranya yang dikenal dengan nama Haru itu tiba-tiba saja mengangkat tangan Anggi dengan paksa, dan terlihatlah ukiran itu. Haru terseyum meremehkan ketika mengetahui apa yang disembunyikan anggi.
“Sampai kapan ?”
Anggi menatap Haru dengan heran, dia tidak mengerti dengan pertanyaan dan tatapan Haru yang menyelidik itu.
“Sampai kapan kau akan berdiam diri ? Kau tahu jika ia tidak akan benar-benar sekolah di sini lagi walau dia menerima beasiswa itu”
Anggi yang mengetahui kemana alur pembicaraan ini mulai tampak berpikir sambil mengalihkan pandangannya keluar kelas berharap akan mendapatkan serangkaian kata-kata perlawanan, namun apa lagi yang akan dia berikan untuk mengelak dari semua kenyataan yang keluar dari mulut sahabatnya ini. Karna sekuat apapun dia mengelak dan melawan, itu hanya sia-sia. Karna semua yang dikatakan Haru adalah kebenaran.
Anggi kembali menatap ukiranya dengan nanar, diusapnya dengan lembut seolah tak ingin ukiran itu terkena oleh debu.
“Kau tahu ini tidak akan pernah berhasil”
Haru melangkahkan kakinya meninggalkan Anggi yang masih mencoba menerima semua kenyataan-kenyataan yang memang benar adanya. Benar jika semua ini tidak akan pernah berhasil.
…..
Jingga menatap jadwal pelajarannya dengan sebal, setelah tiga hari melewati serangkaian tes ini dan itu yang membuat otaknya sangat kenyang dan ternyata selama dia tidak bersekolah banyak sekali tugas-tugas yang harus dikerjakannya.
“Ini menyebalkan, aku harap besok aku bisa keluar dari sana”
Dilemparnya buku tulisnya karna merasa lelah dengan semua angka-angka yang sedari kemarin selalu menemaninya tanpa bosan. Dihembuskannya nafas dengan berat ketika mengingat teman sebangkunya.
“Apa yang kupirkan”
Tanya Jingga sendiri sambil melihat pena pemberian dari Anggi untuknya.
Flashback.
Taman samping kelas merupakan tempat yang pas untuk menghilangkan penat, bunga dan pohon-pohon yang tak hentinya-hentinya bergoyang karna tiupan angin akan terlihat seperti menari. Jingga tak akan pernah bosan untuk berdiam diri di taman ini, dan jangan lupakan suasana damainya.
“Ehhmm”
Jingga cukup terkejut ketika ada suara yang mengusiknya, mengingat tempat ini jarang dikunjungi murid sekolah ini. Namun dia tak merasa heran lagi ketika mengetahui siapa orang yang mengusiknya lagi. Anggi teman sebangkunya yang sangat menyebalkan, menurut Jingga.
“Ada apa ?”
Tanya Jingga dengan enggan sambil tetap memejamkan matanya.
“I-ini aku punya sesuatu untukmu”
Namun belum lagi Jingga melirik ke Anggi dan melihat apa sesuatu itu, si lawan bicara sudah berlari dan tergeletaklah sebuah pena dengan hiasaan berwana permata merah di bagian atasnya dan pena tersebut dililitkan dengan sebuah kertas menggunakan pita biru.
Pena ini akan membawa keberuntungan untukmu
….
Kau yang memulai bukan ?
Mulai namun jangan pernah hentikan, jangan pernah
Sebelum aku yang memohon padamu
….
“Aku benar-benar akan pergikan ? ”
Mata coklat itu menatap kosong, berkecamuk segala hal dalam pikirannya. Dia tak pernah menduga bila akan benar-benar meninggalkan kota kecil yang sudah menjadi bagian hidupnya ini.
“Aku kira mereka hanya bercanda saat itu”
Dia masih tetap dengan pikirannya sendiri tak memperdulikan orang yang disampinya. Hening. Tak ada satupun dari mereka yang hendak memecahkannya, biarkanlah rasa kecewa yang mengisi keheningan ini.
“Kau, bisa kau menjaganya untukku ?”
Lagi-lagi anak perempuan bermata coklat itu yang diketahui bernama Jingga berkata hal yang tidak dimengerti lawan bicaranya.
“Apa maksudmu ?”
Jingga terseyum mendengar respon temannya, diambilnya setangkai daun kering yang berada dihadapannya. Dipandanginya daun itu cukup lama dengan tatapan sendu.
“Aku sudah tau sejak dulu, bahwa aku hanya akan menjadi daun kering” harumi menggantungkan kalimatnya dan menghembuskan napas dengan berat.
“dan akan hancur dengan sangat mudahnya”
TBC
Astaga gak tau kenapa pingin banget ngetik sesuatu dan ternyata aku masih bisa mengetik dengan imajinasi yang pas2an ini –“ sesuatu memang. Mau curhat dikit, waktu nulis ini keadaan sangat tidak memungkinkan. Sehabis pulang sekolah dengan keadaan mata berat aku berjuang dengan sekuat tenaga untuk mengetik (?) gak kebayang capeknya pergi jam 6 pagi balik maghrib dan belum lagi ngerjain tugas, nekat. Satu kata. Well, sejujurnya aku seneng karna bisa ngetik ini serahlah mau capek ato gak. Last mohon maaf untuk semua penulisan yang salah, gak sempet edit ^^ maaf….maff…